designsuperstars.net, Jakarta – Sunat adalah prosedur pembedahan untuk menghilangkan kulup, kulit yang menutupi ujung penis. Praktik ini dilakukan karena berbagai alasan, antara lain budaya, agama, kebersihan, dan penampilan.
Anak laki-laki biasanya disunat dalam waktu 10 hari setelah lahir, seringkali di rumah sakit oleh dokter. Sebelum melakukan prosedur, orang tua diberitahu tentang prosedur dan risiko terkait.
Namun, sunat juga bisa dilakukan pada anak laki-laki atau pria dewasa, dengan prosedur yang mungkin berbeda.
Menurut Kids Health, sunat memiliki beberapa manfaat, antara lain: Mengurangi risiko HIV dan penyakit menular seksual (PMS) lainnya: Orang yang disunat memiliki risiko lebih rendah terkena HIV dan penyakit menular seksual lainnya saat dewasa. Mencegah Infeksi Saluran Kemih (ISK): Sunat dapat mencegah infeksi saluran kemih, terutama pada anak laki-laki. Mengurangi risiko kanker penis: Meskipun kanker penis jarang terjadi, sunat dapat membantu mengurangi risiko tersebut. Menjaga kebersihan penis: Sunat membuat penis lebih mudah dibersihkan, mengurangi risiko iritasi, peradangan atau infeksi.
Di Indonesia, sunat sudah menjadi hal yang lumrah bahkan diwajibkan oleh beberapa kelompok agama. Namun di negara lain, sunat dianggap sebagai keputusan pribadi dan tidak dilakukan secara rutin. Beberapa negara bahkan melarang sunat karena alasan tertentu.
Berikut beberapa negara yang tidak mewajibkan sunat pada pria.
Pada Mei 2012, Jerman melarang sunat pada anak karena dianggap membahayakan tubuh. Dikutip NBC News pada Sabtu, 27 April 2024, keputusan tersebut dipicu oleh insiden kegagalan sunat pada anak berusia empat tahun yang menyebabkan luka serius.
Larangan ini memicu protes dari komunitas Muslim dan Yahudi, yang menuntut agar semua pria disunat.
Setelah mendapat protes dan tantangan, parlemen Jerman akhirnya menyetujui undang-undang baru tersebut pada bulan Desember 2012.
Undang-undang membolehkan sunat pada pria karena alasan agama, asalkan dilakukan oleh dokter atau ahli sunat.
Hal ini merupakan langkah menjaga keseimbangan antara perlindungan anak dan kebebasan beragama.
Pada tahun 2018, Islandia berusaha menjadi negara Eropa pertama yang melarang sunat pada pria. Langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemimpin agama Yahudi dan Islam di Eropa, karena sunat adalah bagian penting dari ritual keagamaan mereka.
Sebuah rancangan undang-undang di parlemen Islandia mengusulkan hukuman penjara hingga enam tahun bagi siapa pun yang menyunat anak laki-laki tanpa alasan medis.
Para pendukung larangan tersebut berpendapat bahwa sunat melanggar hak-hak anak dan tidak sejalan dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak, The Guardian dan NBC News mengutip.
Di sisi lain, para penentang larangan ini berpendapat bahwa sunat adalah bagian penting dari kebebasan beragama dan budaya. Mereka juga meragukan efektivitas larangan tersebut dalam melindungi anak-anak.
Pada akhirnya, RUU tersebut tidak disetujui. Oleh karena itu, praktik sunat masih legal di Islandia, meski masih dianggap sebagai hal yang tidak biasa untuk dilakukan.
Orang tua Muslim yang tinggal di Jepang kesulitan menemukan rumah sakit untuk menyunat bayi laki-laki mereka, lapor Food Diversity.
Meski tidak dilarang oleh pemerintah, banyak rumah sakit/klinik di Jepang yang tidak menerima sunat karena alasan agama/budaya.
Oleh karena itu, ada beberapa anjuran bagi anak laki-laki Muslim untuk segera disunat, karena di negara dengan minoritas Muslim, seperti Jepang, akan lebih sulit untuk meyakinkan anak untuk disunat ketika mereka besar nanti, terutama jika teman-temannya, kebanyakan non-Muslim, jangan lakukan itu.
Di Tiongkok, sunat tidak sesering di negara lain. Di sini, sunat biasanya dilakukan sebagai prosedur medis untuk mengobati penyakit tertentu, bukan sebagai ritual budaya atau agama.
Hanya sekitar 2,66 persen pria di Tiongkok yang disunat, menurut BMC Public Health. Praktek sunat pada bayi juga tidak umum, kecuali di kalangan minoritas Muslim yang jumlahnya kurang dari 3% populasi Tiongkok.
Alasan jarangnya praktik sunat di Tiongkok belum sepenuhnya dipahami. Namun, beberapa faktor yang mungkin terjadi antara lain tidak adanya tradisi sunat, mayoritas penduduknya non-Muslim, dan adanya anggapan bahwa sunat dapat membahayakan kesehatan atau kejantanan.
Meski tidak umum, sunat masih tersedia sebagai pilihan medis bagi mereka yang membutuhkannya di Tiongkok.