designsuperstars.net, Jakarta – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dr. Imran Pambudi mengatakan Kementerian Kesehatan (Kemenkesh) telah melakukan upaya peningkatan deteksi dini tuberkulosis (TB) dalam kegiatan active casefinding (ACF) melalui skrining rontgen dada keliling pada populasi berisiko.
“Jadi, screening populasi kontak keluarga dan kontak erat di 25 kabupaten/kota. Kemudian survei terhadap warga binaan pemasyarakatan di 374 Lapas, Rutan, dan Lembaga Khusus Pembinaan Anak (SCD) yang tersebar di 291 kabupaten/kota di 34 provinsi, kata Imran seperti dikutip situs Sehatnegeriku.
Kasus tuberkulosis (TB) di Indonesia diketahui berada pada angka tertinggi sepanjang sejarah pada tahun 2022 dan 2023. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, terdeteksi lebih dari 724.000 kasus TBC pada tahun 2022. Baru dengan TV.
Hingga akhir Januari 2024, Imran mengatakan deteksi kasus TBC hanya mencapai 40-45 persen dari perkiraan kasus penyakit sebelum pandemi. Sehingga masih banyak kasus tuberkulosis yang tidak terdeteksi atau tidak dilaporkan.
Jika lebih banyak yang terdeteksi, maka peluang kesembuhan pasien akan meningkat dan risiko infeksi dapat dikurangi.
Dalam deteksi dini TBC, Kementerian Kesehatan melakukan pendekatan campuran pemerintah-swasta (PPM).
Regimen pengobatan baru untuk TBC
Dalam hal terapi atau penatalaksanaan TBC, Indonesia juga terus menggunakan temuan penelitian mengenai rejimen pengobatan TBC baru yang durasinya lebih pendek (shorter regimen).
“Perlu diketahui bahwa lamanya pengobatan yang menimbulkan kebosanan, efek samping obat, menjadi beberapa penyebab ketidakpatuhan pasien dalam menyelesaikan pengobatan secara tuntas,” kata Imran.
Mulai pertengahan tahun 2023, Indonesia secara terprogram memulai pengobatan TB resistan obat (DR) dengan regimen terbaru yaitu BPaL/BPaLM (bedaquiline, pretomanid, linezolid, moxifloxacin) dengan durasi pengobatan 6 bulan.
“Regimen pengobatan sebelumnya – dan masih direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) – bertahan 9-24 bulan tergantung tingkat kekebalan terhadap mikroba,” lanjut Imran.
“Kami berharap rejimen pengobatan yang lebih singkat ini dapat meningkatkan motivasi pasien untuk menyelesaikan pengobatannya.”
Indonesia juga mendukung penelitian operasional mengenai potensi pengobatan yang lebih singkat untuk tuberkulosis yang rentan terhadap obat (TB SO).
Jika TB RO memerlukan pengobatan yang lebih kompleks karena bakteri penyebab TBC, Mycobacterium tuberkulosis, resisten terhadap beberapa obat, maka TB SO dapat diobati dengan rejimen standar. Namun durasi pengobatan TBC SO saat ini masih berkisar 6-9 bulan.
Kementerian Kesehatan juga berkoordinasi dan berkolaborasi dengan WHO, USAID dan berbagai organisasi profesi dan masyarakat dalam pengobatan TBC.
“Kerja sama ini dalam rangka pengembangan pedoman teknis pengobatan infeksi tuberkulosis laten (LTB) dan terapi pencegahan tuberkulosis (TPT). “Edukasi dan sosialisasi mengenai TPT, baik melalui workshop offline maupun online kepada tenaga kesehatan,” jelas Imran.
“Pengembangan strategi komunikasi TPT, modul e-learning TPT yang dapat diakses melalui platform Plataran Sehat Kementerian Kesehatan, dan mengintegrasikan kegiatan penyampaian TPT dengan kegiatan penemuan kasus aktif.”