designsuperstars.net, Jakarta – Tradisi ziarah umat Buddha atau Thudong merupakan perjalanan spiritual yang ditempuh umat Buddha sejauh ribuan kilometer. Tradisi ini berasal dari masa Sang Buddha, ketika para biksu melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan ajaran.
Thudong adalah suatu bentuk meditasi dimana para biksu bermeditasi sambil menjelajahi alam dan berinteraksi dengan berbagai makhluk hidup.
Biksu yang melakukan praktik mengembara atau Thudong sebagian besar berasal dari Thailand, meskipun praktik serupa juga ditemukan di negara Budha lainnya. Biksu dari segala usia dapat memasuki Thudong selama mereka memiliki kekuatan fisik dan mental yang cukup. Sebagian besar biksu melakukan ritual ini, namun ada juga yang melakukannya secara individu.
Dahulu, praktik perjalanan biksu atau Thudong dilakukan sebagai kebutuhan praktis untuk menyebarkan ajaran Buddha. Saat ini, meski terdapat kuil dan transportasi modern, Thudong masih dilestarikan sebagai bentuk latihan spiritual. Perubahan besar terlihat dari waktu ke waktu dan cara perjalanan yang kini dapat disesuaikan dengan kondisi modern tanpa mengurangi hakikat spiritual.
Sepak bola modern seringkali memiliki tujuan akhir tertentu, seperti Candi Borobudur di Indonesia. Tradisi biksu keliling ini tidak hanya sebagai salah satu cara pengembangan spiritual, tetapi juga simbol toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
Biksu yang mempraktekkan Thudong seringkali diterima di tempat ibadah yang berbeda, menunjukkan semangat persatuan dalam keberagaman.
Berikut designsuperstars.net ulas selengkapnya, Kamis (8/8/2024).
Amalan perjalanan biksu atau Thudong merupakan amalan spiritual yang berakar kuat pada ajaran Buddha. Mengutip situs Direktur Jenderal Kepemimpinan Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia, Thudong diartikan sebagai perjalanan ritual pendeta atau biksu yang dilakukan dengan berjalan kaki sejauh lebih dari ribuan kilometer.
Ritual ini bukan sekedar perjalanan fisik, namun juga perjalanan batin yang penuh makna.
Akar sejarah ziarah biksu atau Thudong berasal dari zaman Buddha. Pada saat itu, para biksu belum memiliki biara atau tempat tinggal tetap, sehingga mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan ajarannya. Thudong menjadi cara hidup para biksu, menggabungkan pengajaran dengan latihan spiritual pribadi.
Wakil Ketua Panitia Nasional Waisak 2568 BE/2024, Yang Mulia Bhikkhu Dhammavuddho Thera, dalam keterangan tertulisnya kepada pers pada 17 April 2024 menegaskan, tradisi Thudong masih relevan hingga saat ini. Dikatakannya, “Saat ini tradisi thudong terus dilestarikan, namun seiring dengan berdirinya pura-pura dan dukungan dari berbagai sumber, maka tradisi thudong dapat dikatakan sebagai sebuah rangkaian perjalanan. agama Buddha.
Asal muasal praktek ziarah Budha atau Thudong terletak pada alam spiritual. JL Taylor dalam bukunya “Forest Monks and the Nation-State: An Anthropological and Historical Study in Northeast Thailand” menyatakan bahwa kata Thudong berasal dari kata Pali “dhutanga” yang berarti “disiplin keras”. Perjalanan ini bukan sekedar perjalanan, melainkan suatu bentuk gerakan mental yang memerlukan ketahanan fisik dan mental.
Praktek Thudong mencerminkan salah satu dari 13 praktek menguntungkan umat Buddha (dhutanga) yang direkomendasikan oleh Buddha Gautama. Selama perjalanan, para biksu tidak hanya melakukan perjalanan, tetapi juga berinteraksi dengan alam dan makhluk di sekitarnya.
Amalan mistik keliling ini merupakan cara untuk melatih kesabaran, mengembangkan kesadaran, dan memperdalam pemahaman terhadap ajaran Buddha melalui pengalaman langsung dengan dunia sekitar.1. Perkembangan Rohani
Tujuan utama perjalanan biksu atau tradisi Thudong adalah pengembangan spiritual. Perjalanan jauh yang dilakukan oleh para bhikkhu memberikan kesempatan untuk mempraktikkan ajaran Buddha dengan lebih efektif.
Selama Thudong, para biksu dapat merefleksikan ajaran Buddha, bermeditasi, dan mengembangkan kebijaksanaan melalui pengalaman langsung dengan dunia sekitar mereka. Thudong adalah cara untuk melatih pikiran, memperkuat tekad, dan memperdalam pemahaman terhadap ajaran Buddha. 2. Sabar dan berani
Latihan berjalan sebagai biksu atau Thudong merupakan ujian besar bagi kesabaran dan keberanian. Para biksu menghadapi banyak tantangan selama perjalanan, mulai dari cuaca ekstrem hingga kondisi jalan yang sulit.
Tujuan Thudong dalam hal ini adalah untuk melatih para biksu mengembangkan kesabaran dan keberanian dalam menghadapi situasi apapun. Sebagaimana diajarkan dalam agama Buddha, kesabaran dianggap sebagai praktik dhamma tertinggi. 3. Menyebarkan Ajaran Buddha
Meskipun saat ini penyebaran ajaran dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun tujuan ziarah umat Buddha atau Thudong untuk menyebarkan ajaran agama Buddha tetap relevan. Selama perjalanan ini, para biksu berkesempatan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia.
Mereka dapat memberikan nasihat, menjawab pertanyaan, dan menginspirasi orang-orang yang mereka temui selama ini. Dengan cara ini, Thudong menjadi sarana penyebaran ajaran Buddha secara langsung dan tidak langsung. 4. Menghormati Tradisi
Salah satu tujuan ziarah umat Buddha atau Thudong adalah untuk menghormati dan melestarikan tradisi yang telah ada sejak zaman Buddha. Saat melakukan Thudong, para biksu mengikuti jejak Buddha dan biksu masa lalu. Ini adalah cara untuk menjaga hubungan dengan akar agama Buddha dan menghormati guru spiritual yang menyebarkan ajaran-ajaran ini. 5. Keagungan Kesadaran dan Hikmah
Tujuan ziarah umat Buddha atau Thudong juga mencakup pengembangan pencerahan dan kebijaksanaan. Selama perjalanan, para bhikkhu memiliki kesempatan untuk mengamati dan merenungkan hakikat realitas yang sebenarnya.
Mereka dapat melihat dengan mata kepala sendiri ketiadaan segala sesuatu, keterhubungan segala sesuatu, dan kesulitan yang melingkupinya. Pengalaman langsung ini membantu para bhikkhu memperdalam pemahaman mereka terhadap ajaran Buddha dan mengembangkan kebijaksanaan sejati.1. Persiapan rohani
Cara tradisional berjalan biksu atau Thudong dimulai dengan persiapan spiritual yang mendalam. Para biksu mempraktikkan ibadah dalam hati dan berpuasa selama empat bulan sebelum mereka memulai perjalanan.
Waktu ini biasanya bertepatan dengan musim hujan, ketika para biksu tinggal di satu tempat untuk memperdalam latihan spiritual mereka. Program ini bertujuan untuk mempertebal tekad dan mempersiapkan semangat sebelum menghadapi tantangan Thudong. 2. Pilihan waktu dan metode
Cara tradisional berjalan biksu atau Thudong melibatkan pemilihan waktu dan rute yang tepat. Thudong biasanya dilakukan pada musim panas atau musim semi saat cuaca lebih cocok untuk perjalanan jarak jauh. Rencana perjalanan dapat bervariasi tergantung pada budaya masing-masing kelompok biksu atau tujuan spiritual tertentu. Beberapa Thudong modern memiliki tujuan akhir tertentu, seperti Candi Borobudur di Indonesia. 3. Alat minimalis
Dalam cara perjalanan tradisional biksu atau Thudong, biksu hanya membawa sedikit peralatan. Kebanyakan biksu hanya mengenakan jubah, sepatu, dan kaus kaki. Para biksu tidak mengambil uang dan hanya mengandalkan sumbangan dari umat Buddha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Proses kecil ini berarti proses pemisahan dan pelepasan benda-benda materi. 4. Aturan makan dan minum
Cara tradisional berjalan biksu atau Thudong mencakup aturan ketat tentang makan dan minum. Para biksu diperbolehkan makan 1 hingga 2 kali sehari, biasanya antara pukul 07.00 hingga 12.00. Mereka hanya diperbolehkan minum setelah tengah hari.
Makanan diperoleh melalui sedekah atau sedekah dari umat Buddha yang mereka temui selama perjalanan. Hukum ini melatih para bhikkhu mengenai disiplin dan kesederhanaan. 5. Belajar Menggerakan Pikiran Anda
Asal usul latihan biksu keliling atau Thudong adalah latihan gerakan mental. Sambil berjalan, para biksu bermeditasi dan bermeditasi. Mereka memperhatikan setiap langkah, nafas dan perasaan yang muncul selama perjalanan. Karya ini membantu para biksu untuk mengembangkan pemikiran dan kebijaksanaan melalui pengalaman langsung dengan dunia sekitar mereka. 6. Berurusan dengan Lingkungan Hidup
Biksu keliling atau tradisi Thudong melibatkan interaksi mendalam dengan lingkungan sekitar. Para biksu berinteraksi dengan berbagai makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan. Mereka juga memantau iklim dan perubahan iklim. Interaksi ini membuka jalan bagi pemahaman yang lebih mendalam terhadap ajaran Buddha tentang ketidakkekalan dan ketergantungan semua fenomena. 7. Istirahat dan tinggal sementara
Dalam cara perjalanan tradisional para biksu atau Thudong, para biksu mempunyai aturan khusus mengenai istirahat dan tinggal sementara. Mereka dilarang beristirahat di tempat komersial dan hanya boleh beristirahat di tempat ibadah keagamaan, seperti vihara, pura, atau pesantren.
Saat istirahat, para biksu tidur di atas tikar yang tingginya tidak lebih dari 50 cm, bahkan ada yang tidur sambil duduk. Latihan ini meningkatkan kemudahan dan relaksasi dari ketidaknyamanan fisik.