JAKARTA – Pemerintahan Jokowi dianggap sepuluh tahun setelah terjadi kegaduhan dalam kebijakan pengendalian produk tembakau. Hal ini diperkirakan akan terus berlanjut pada rezim selanjutnya, karena kebijakan pengendalian tembakau yang jelas tidak masuk dalam visi dan program pasangan calon presiden dan wakil presiden Probowo-Gibran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap bonus demografi dan cita-cita Indonesia Emas.
Penasihat Senior Pusat Pengembangan Manusia dan Ekonomi Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (CHED ITB-AD), Mukhaer Pakkanna mengatakan, tingginya prevalensi merokok di kalangan anak-anak dan masyarakat miskin sebelum pergantian rezim pada Oktober 2024 merupakan bukti nyata. tentang kegagalan Pengendalian Tembakau di Era Jokowi.
“Selama 10 tahun pemerintah belum mampu meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Kebijakan kawasan bebas asap rokok (SZZ) hanya menjadi wacana di RPJMN, padahal anak-anak masih mempunyai akses yang mudah terhadap rokok dan rokok. remaja.
Baca juga: Bau Deposit Asing, KNPK Tolak Raperaturan Menteri Kesehatan untuk Lindungi Produk Tembakau
Mukhaer juga menyoroti keterlibatan industri rokok melalui program lobi politik dan tanggung jawab sosial (CSR) yang masih sangat besar.
“Indeks gangguan industri tembakau Indonesia mencapai 84 poin yang menunjukkan kuatnya intervensi industri tembakau untuk menghindari kontrol yang lebih ketat, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif,” ujarnya.
Kondisi tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar di Asia Tenggara, yakni mencapai 65,7 juta jiwa, dengan 67 persen diantaranya berasal dari kelompok miskin.
Dalam konteks peralihan kekuasaan, Mukhaer mengusulkan beberapa langkah konkrit agar pengendalian tembakau lebih efektif pada akhir tahun 2024.
“Perlunya kenaikan tarif cukai hasil tembakau (TCT) yang lebih signifikan, termasuk rokok elektrik dan tembakau potong, serta kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) minimal 25% per tahun untuk semua jenis. rokok. Selain itu, struktur tarif CHT harus disederhanakan menjadi 3 tingkatan,” kata Mukhaer.
Baca juga: Limbah Filter Rokok Dijadikan Bahan Modifikasi Aspal? Berikut hasil penelitian mahasiswa ITS
Lebih lanjut Mukhaer menyarankan agar ketentuan pelacakan harga transaksi pasar direvisi menjadi 100% dari harga eceran yang ditetapkan. Penting juga untuk mendesain ulang stempel khusus agar tidak menutupi Pemberitahuan Kesehatan Bergambar atau menerapkan Segel Digital, serta mengintegrasikan pemantauan harga transaksi pasar rokok dengan kementerian dan lembaga lain yang kompeten.
Tantangan ini harus segera dijawab oleh pemerintahan mendatang agar masa depan Indonesia, khususnya dalam rangka bonus demografi, tidak tergadaikan oleh kepentingan industri rokok, kata Mukhaer.