Memahami Alasan Korban KDRT Bertahan dalam Pernikahan, Melepaskan Relasi Tidak Semudah yang Dibayangkan

0 0
Read Time:3 Minute, 45 Second

designsuperstars.net, Jakarta Sebab anak menjadi alasan Cut Intan Nabila menjalani pernikahan penuh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hingga akhirnya Cut tak tahan lagi dan mengungkap ke publik bahwa selama lima tahun menikah, ia kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya Armor Toreador.

“Saya bertahan selama ini karena anak-anak saya,” ujarnya.

Polisi pun mengamankan Armour. Pria tersebut pun mengaku kerap melakukan kekerasan terhadap istrinya.

Cut Intan Nabila merupakan salah satu dari sekian banyak korban kekerasan dalam rumah tangga. Data Komnas Perempuan selama 21 tahun mencatat 2,5 juta kasus kekerasan di ranah privat, dimana kekerasan terhadap perempuan merupakan yang paling banyak dilaporkan yakni 484.993 kasus.

“Itu yang dilaporkan. Itu hanya puncak gunung es, masih banyak lagi yang tidak dilaporkan,” kata psikolog klinis Nirmala Ika. 

Mungkin sulit bagi orang yang belum pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga untuk memahami mengapa seseorang bisa terus berada dalam situasi kekerasan begitu lama, bahkan sampai memiliki lebih dari satu anak.

Menanggapi hal tersebut, Ika mengungkapkan banyak hal yang membuat seseorang sulit meninggalkan hubungan dengan pasangan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

“Tidak bisa membiarkan hal sesederhana ini. Ada banyak faktor yang membuat seseorang bisa bertahan,” kata Ika.

 

1. Bertahan hidup demi anak-anak

Menurut pengalaman Cut Intan Nabile, anak menjadi alasan banyak perempuan tetap menjalin hubungan dengan suami yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal itulah yang sering ditemui psikolog klinis Efnie Indrianie di ruang praktiknya. 

Efnie mengungkapkan, para korban KDRT, khususnya istri, rela berkorban agar anaknya merasa memiliki keluarga yang utuh dengan kehadiran ayah dan ibu. “Itulah yang biasanya membuat mereka bisa bertahan,” kata Efni saat diwawancarai telepon.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Efni, banyak pasiennya yang kehilangan rasa cinta terhadap pasangannya. Namun, alasan anak-anak mereka membuat mereka tetap berada dalam hubungan yang menyakitkan ini.

Jadi lebih pada komitmen. Para korban ini sudah pasrah sehingga ketika anaknya ditanya temannya, mereka bisa menjawab lokasi ayah dan ibunya, ujarnya kepada Health designsuperstars.net melalui telepon.

 

   

Selain anak, nilai-nilai masyarakat memaksa perempuan untuk bolak-balik menjalin hubungan. Mulai dari nilai budaya dan agama.

Menurut banyak perempuan, mereka diajarkan untuk berusaha membangun dan meningkatkan hubungan keluarga, kata psikolog Nirmala Ika.

Selain itu, bagi sebagian perempuan, keputusan berpisah dari suami pelaku kekerasan dalam rumah tangga (DVW) dapat menimbulkan perasaan takut yang mendalam. Hal ini disebabkan oleh stigma negatif yang melekat pada status janda.

“Kalau sudah bercerai, stigma masyarakat terhadap janda sangat buruk dan seringkali disertai dengan hinaan,” kata Ika.

Oleh karena itu, banyak perempuan yang merasa terjebak dalam situasi sulit, antara menjaga keluarga dan menghadapi visi masyarakat dalam hubungan persahabatan.

Salah satu faktor yang mendorong perempuan berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan hubungan meski mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah keuangan.

Meski zaman telah berubah dan perempuan kini mempunyai kesempatan untuk mencari nafkah, masih ada stigma yang menganggap bahwa suamilah yang memegang kendali.

“Ada anggapan suami bekerja, sedangkan istri di rumah mengurus anak dan keluarga. Sepertinya istri tidak bisa mencari uang,” kata Ika.

Selain itu, banyak pemikiran yang terlintas di benak wanita ketika berpikir untuk meninggalkan suatu hubungan, terutama terkait keuangan.

“Dalam benak para korban KDRT, sering muncul pertanyaan, ‘Kalau saya berpisah, siapa yang akan menghidupi anak-anak?’ “

Ika menambahkan, ada faktor internal korban KDRT yang mempengaruhi keputusannya untuk bertahan hidup. Siapa pun yang sejak kecil melihat orang tuanya bertengkar hingga berujung pada kekerasan fisik, cenderung menganggap seperti itulah pernikahan.

“Jika seseorang sudah terbiasa melihat orang tua berkelahi dan saling memukul, mereka akan berpikir begitulah seharusnya pernikahan,” kata Ika dalam percakapan telepon dengan Health designsuperstars.net.

Salah satu alasan seseorang tetap bertahan dalam pernikahan kekerasan dalam rumah tangga (DVI) adalah rasa takut kehilangan orang yang pernah dicintainya, seperti suaminya.

“Jika selama ini korban belum pernah bertemu dengan orang lain yang mencintainya sebagai pasangan, maka rasa enggan melepaskannya akan semakin kuat. Korban merasa sangat terikat dengan pasangannya, kata Ika.

 

Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianavati mengimbau para korban kekerasan tidak segan-segan melaporkan pengalaman pahit yang dialaminya, meski takut akan stigma sosial.

“Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, yang merupakan kelompok rentan, tidak boleh lagi ditoleransi.” Apalagi jika kekerasan tersebut terjadi di tempat yang seharusnya menjadi tempat aman, dan dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, kata Ratna dalam keterangannya. pernyataan pers. pada Rabu (14 Agustus 2024).

Ia menambahkan: “Korban harus berani bersuara agar haknya terjamin dan pelaku mendapat hukuman yang setimpal sesuai hukum yang berlaku. Di sisi lain, kita sebagai masyarakat dan pemerintah juga mempunyai tanggung jawab untuk memberikan dukungan dan layanan. yang mengutamakan kepentingan korban,” kata Ratna di Jakarta.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
PAY4D slot 1000 jepang slot lapaktoto