designsuperstars.net, JAKARTA – Komentator ekonomi Peter Abdullah mengkritik kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai tahun 2025. 1 Januari pendapatan, namun juga untuk melonggarkan kebijakan moneter agar kondisi perekonomian masyarakat tidak semakin tertekan.
“Saat ini kita melihat daya beli turun, konsumsi, penjualan ritel, PMI (purchasing manager’s index) turun, itu menunjukkan ada gangguan perekonomian dari sisi permintaan,” kata Peter. Republik, Senin (16/09/2024).
Petras menjelaskan, jika PPN dinaikkan dari 11 menjadi 12 persen pada tahun depan, otomatis berdampak pada kenaikan harga di sektor riil. Ketika harga naik dan daya beli masyarakat melemah, otomatis konsumsi akan turun, yang juga berdampak pada menurunnya investasi.
Perekonomian yang berada dalam tekanan akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dampak paling mematikan dari kondisi ini adalah resesi.
“Jadi yang perlu dilakukan bagaimana memperbaikinya karena kebijakannya lebih dari satu, strateginya lebih banyak,” ujarnya.
Menurut dia, kebijakan yang mungkin menonjol adalah pengetatan moneter yang perlu dilonggarkan. Suku bunga yang tinggi diyakini harus dimoderasi. Hal ini penting untuk menghindari terlalu banyak pengetatan dari berbagai arah akibat kondisi perekonomian yang sedang melemah.
“Jadi jika kebijakan fiskal dan moneter diperketat, maka perekonomian akan buruk.” Akan terjadi kontraksi atau pertumbuhan ekonomi melambat atau bahkan terkontraksi. “Jadi kebijakannya harus seimbang, kalau ada yang diperketat, ada yang harus diperlunak,” jelasnya.
Selain itu, Pyteris mengatakan Bank Indonesia (BI) harus melonggarkan kebijakan tersebut karena saat ini tidak hanya suku bunga yang tinggi tetapi juga pinjaman yang diperketat setelah penghapusan likuiditas.
Menurut dia, BI harus mencari tanda-tanda perekonomian memang melemah berdasarkan berbagai bukti. Misalnya, deflasi selama empat bulan berturut-turut, yang menunjukkan melemahnya atau terhentinya permintaan.
“Kebijakan BI sebenarnya lebih berorientasi pada nilai tukar, tekanan terhadap nilai tukar sudah berkurang. Artinya, tidak ada alasan bagi BI untuk melanjutkan kebijakan yang sangat ketat tersebut (suku bunga tinggi). “Saat pemerintah menerapkan kebijakan ini (kenaikan pajak) juga ketat, kini BI punya peluang untuk melunakkannya,” jelasnya.
Di sisi lain, Pieter menegaskan penggunaan APBN harus lebih tepat dalam praktik kebijakan fiskal. Namun tujuan kenaikan pajak atau PPN sebesar 12 persen adalah untuk menjaga keseimbangan APBN.
“Toh, untuk menjaga keseimbangan APBN, pendapatannya dinaikkan, tapi harus kembali ke perekonomian itu sendiri. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan pajak yang ketat harus diikuti sebaliknya, yakni kebijakan menyuntikkan ekspansi fiskal yang cukup, tegasnya.