Studi: Perubahan Iklim Perburuk Turbulensi Pesawat yang Jarang Telan Korban Jiwa

Read Time:3 Minute, 21 Second

designsuperstars.net, Jakarta – Sebuah penerbangan Singapore Airlines dari London jatuh, menewaskan satu orang dan melukai beberapa lainnya. Selanjutnya, penyelidikan sedang dilakukan atas apa yang terjadi pada penerbangan Boeing 777-300ER menuju Singapura.

Dari laman Euronews, Rabu (22/5/2024), situs pelacakan maskapai mencatat pesawat mengalami turbulensi sekitar 1.800 meter dalam tiga menit. Saat itu kondisi di luar Teluk Benggala tidak mendukung bagi pesawat terbang.

Faktanya, kematian dan cedera serius akibat turbulensi sangat jarang terjadi. Awak pesawat sering kali dapat mengantisipasi cuaca buruk dan kondisi udara buruk terlebih dahulu dan dilatih untuk menghadapi konsekuensinya.

Dr Paul Williams, profesor ilmu atmosfer di Universitas Reading, mengatakan kepada Euronews Travel: “Kematian akibat turbulensi pada penerbangan komersial sangat jarang terjadi, namun sayangnya angka ini kini bertambah satu orang.”

Ia mengatakan banyak hal yang dapat menyebabkan turbulensi dalam penerbangan, seperti angin topan, gunung, dan arus udara kuat yang disebut jet stream. Dalam kasus yang dialami Singapore Airlines, ia menyebutnya sebagai turbulensi udara yang jelas, dan sulit dihindari karena tidak muncul di radar cuaca di dek penerbangan.

Analisis terperinci mengenai kondisi iklim dan jenis pemicu stres tertentu yang berkontribusi terhadap kematian saat ini memerlukan waktu yang cukup lama. Waktu terjadinya peristiwa ini akan sulit diprediksi karena hal ini disebabkan oleh pusaran skala kecil yang tidak dapat diukur oleh sebagian besar model iklim. 

Menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional, turbulensi adalah penyebab utama cedera non-fatal pada penumpang dan awak pesawat. Namun, kematian dan cedera serius tidak jarang terjadi di pesawat besar.

Antara tahun 2009 dan 2021, 146 penumpang dan awak pesawat terluka parah dalam insiden turbulensi, menurut Administrasi Penerbangan Federal. Pada Desember 2022, 20 orang dirawat di rumah sakit setelah penerbangan Hawaiian Airlines dari Phoenix ke Honolulu terganggu.

Pada Maret 2023, seorang penumpang meninggal dunia saat jet komersial yang ditumpanginya mengalami turbulensi parah. Kemudian pada bulan Agustus tahun itu, penerbangan Delta dalam perjalanan ke Atlanta mengalami masalah di udara sehingga menyebabkan 11 orang dirawat di rumah sakit.

Cedera yang terutama disebabkan oleh penumpang yang tidak mengenakan sabuk pengaman antara lain memar, patah tulang, cedera kepala, dan tidak sadarkan diri. Pakar penerbangan umum John Strickland mengatakan kepada BBC: “Tidak ada alasan bagi maskapai penerbangan untuk merekomendasikan agar sabuk pengaman dikenakan secara longgar dan dikencangkan untuk jangka waktu yang lama, lama, dan pendek selama penerbangan.” 

Pramugari termasuk yang paling rentan di pesawat, bahkan mereka 24 kali lebih mungkin mengalami cedera serius. Sebab, harus berdiri lebih lama dibandingkan penumpang. 

Perubahan iklim meningkatkan keresahan. Tahun lalu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh ahli iklim di Universitas Reading di Inggris menemukan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan langit bergetar 55 persen lebih banyak dibandingkan empat dekade lalu.

Udara hangat dari emisi karbon dioksida menyebabkan perubahan aliran udara di aliran jet, menyebabkan gangguan udara di Atlantik Utara dan secara global. Para ilmuwan menemukan bahwa di kawasan Atlantik Utara, salah satu jalur udara tersibuk di dunia, total durasi tahunan turbulensi parah meningkat sebesar 55 persen antara tahun 1979 dan 2020.

Tim menemukan bahwa turbulensi angin meningkat dari 17,7 jam pada tahun 1979 menjadi 27,4 jam pada tahun 2020 di titik tengah Atlantik Utara. Di wilayah ini, turbulensi sedang meningkat sebesar 37 persen dari 70,0 menjadi 96,1 jam dan turbulensi ringan meningkat sebesar 17 persen dari 466,5 menjadi 546,8 jam. 

 

Atlantik Utara dikatakan mengalami peningkatan turbulensi terbesar. Namun, studi baru ini juga menemukan peningkatan turbulensi yang signifikan pada rute-rute maskapai penerbangan sibuk lainnya di Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, dan Atlantik Selatan.

“Kita perlu berinvestasi dalam sistem prediksi dan deteksi turbulensi yang lebih baik untuk mencegah angin buruk mengubah penerbangan dalam beberapa dekade mendatang,” kata Williams, ilmuwan atmosfer di Universitas Reading yang ikut menulis penelitian tersebut.

Maskapai penerbangan perlu mempertimbangkan cara mengelola peningkatan turbulensi. “Karena di Amerika saja biayanya US$150 hingga US$500 juta (Rp 2,3 juta – Rp 7,9 miliar) untuk industrinya,” kata Mark Prosser, ahli klimatologi di University of Reading yang memimpin penelitian tersebut.

Dia menambahkan, “Setiap menit ekstra yang dihabiskan dalam perjalanan melalui turbulensi menyebabkan kerusakan pada pesawat, serta meningkatkan risiko cedera pada penumpang dan pramugari.”

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post Wanita Ini Mengklaim Tidak Makan dan Minum Selama 16 Tahun dan Tetap Sehat
Next post 403