designsuperstars.net, Jakarta – Sebagian orang tua menganggap kemarahan anak dipengaruhi oleh makanan yang dimakannya.
Bahkan ada yang membatasi asupan makanan tertentu pada anak dengan harapan dapat mengurangi tingkat kecemasan dan frekuensi tantrum.
Meski demikian, dokter spesialis anak I Gusti Ayu Trisna Vindyani menegaskan, belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan adanya hubungan antara makanan dengan perilaku marah pada anak.
“Banyak orang yang memberi makan anaknya, tidak memberi nasi, tidak memberi gula. Ya, mereka akan benar-benar kekurangan gizi karena penelitian tidak membuktikan, tidak terbukti secara ilmiah bahwa makanan ada hubungannya dengan koordinasi, ucapnya Trisna dalam temu media online bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada Selasa, 23 April 2024.
Trisna menambahkan, penting untuk diperhatikan bahwa makanan ada hubungannya dengan otak, meski penelitian masih terus dilakukan.
“Isi lambung itu hubungannya dengan isi kepala, kasarnya. Kalau lapar, cemas, atau marah. Kalau stres, bisa-bisa diare, ada korelasinya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Trisna menyarankan untuk memerhatikan asupannya sejak bayi berada di dalam kandungan. Selama hamil, ibu harus menjalani pola makan yang sehat dan seimbang.
“Kalau itu (asupan nutrisi) yang hilang, itu akan mempengaruhi perkembangan otak yang sedang tumbuh. Nah, di kemudian hari mungkin ada gangguan perilaku, mungkin di situlah. Masih terus diteliti,” ujarnya.
Sebelumnya, Trisna menjelaskan, tantrum merupakan ledakan perilaku yang mewakili reaksi anak yang tidak terkendali terhadap rasa frustrasi.
“Jadi anak tidak mampu mengatur rasa frustasi yang dialaminya. Ini saat yang ekstrim, sangat tidak nyaman bagi anak dan tidak sesuai dengan situasi, kemarahan bisa terjadi dimana saja,” ujarnya.
Saat tantrum, anak akan menunjukkan perilaku agresif sebagai akibat reaksinya terhadap rasa frustrasi dan amarah.
“Kemarahan pada anak sebenarnya merupakan perkembangan yang normal, namun bisa juga tidak normal,” kata Trisna.
Gangguan temperamen biasanya terjadi antara usia 18 bulan hingga 4 tahun. Untuk anak usia 2 tahun, persentase marahnya mencapai 20 persen. Jumlah ini menurun seiring bertambahnya usia.
Pada usia 3 tahun, persentase anak yang marah turun menjadi 18 persen, dan pada usia 4 tahun, persentasenya turun kembali menjadi 10 persen.
Lebih detailnya, Trisna melaporkan jumlah tipikal tantrum berdasarkan usia sebagai berikut: Anak usia 1 tahun tantrum sebanyak 8 kali dalam seminggu. Anak usia 2 tahun tantrum 9 kali dalam seminggu. Seorang anak usia 3 tahun mengalami tantrum sebanyak 6 kali dalam seminggu. Anak usia 4 tahun tantrum 5 kali dalam seminggu.
Sedangkan durasi tantrum meningkat seiring bertambahnya usia: anak usia 1 tahun biasanya tantrum dalam waktu 2 menit. Anak usia 2-3 tahun biasanya mengalami tantrum dalam waktu 4 menit. Anak usia 4 tahun biasanya tantrum dalam waktu 5 menit.
Marah yang normal berbeda dengan marah yang tidak normal, biasanya anak berkebutuhan khusus mempunyai kemarahan yang tidak wajar atau tidak normal.
Trisna menjawab pertanyaan disabilitas di designsuperstars.net, “Kembali ke pengertian atipikal atau abnormal tantrum dan normal tantrum. .Itu terjadi,” kata Trisna menjawab pertanyaan disabilitas designsuperstars.net.
Ciri lain dari kemarahan yang tidak normal adalah durasinya yang lama dan terus-menerus. Dalam kemarahan yang normal, biasanya ada jeda antara kemarahan pertama dan kedua. Sedangkan pada kemarahan yang tidak normal, kemarahan tersebut berlangsung terus menerus tanpa jeda atau jeda.
“Nah, begitulah yang terjadi pada anak berkebutuhan khusus. Jadi coba pikirkan apakah anak dengan amarah yang tidak normal itu punya kelainan tingkah laku. Anak autis dan anak ADHD memang menunjukkan amarah yang tidak normal,” tutupnya.